Contact us now
+6289-774455-70

Gemerlapnya Dunia TV [1]: Mas Aan, Profil Kreatif Yang Kalem

Aan, Abi Yazid Ansorul Waton (ref: http://antro.fisip.unair.ac.id/testimoni.antro.php?id=27)

Aan, Abi Yazid Ansorul Waton (ref: http://antro.fisip.unair.ac.id/testimoni.antro.php?id=27)

Bagi saya, mas Aan adalah sosok kreatif yang tidak begitu banyak bicara. Begitu rendah hati tanpa suka pamer. Sekali bicara, pasti kena. Efisien. Namun humor-humornya sangat luar biasa. Sangat mencairkan suasana yang kaku dan membuatnya dia bisa diterima di semua kalangan.

Oleh: Mochamad Yusuf*

Sudah Beberapa bulan kita semua galau. Galau dengan masa depan. Saat itu sekitar tahun 1997-1998. Saat itu krisis moneter melanda hebat negeri ini.

Beberapa bulan itu saya berpikir dan berpikir. Saya juga bertanya ke sana kemari. Bahkan membuat matrix segalanya. Juga, tentu saja, berdoa dan memohon petunjuk pada Yang Kuasa.

Akhirnya tiba saatnya. Saya dipanggil mbak Gina, atasan saya. Sebuah pertanyaan diluncurkannya. Sebuah pertanyaan yang sudah kita tahu. Yakni apakah ikut pindah ke Jakarta atau tidak. Kalau tidak, berarti itu harus mengundurkan diri. Saya sudah mantab dengan jawaban ini. Saya katakan tidak ikut. Itu berarti konsekuensinya saya jadi pengangguran.

Saya lupa bagaimana percakapan setelah saya memberikan jawaban itu. Rasanya percakapan dengannya sangat singkat. Mungkin karena saya tegas memberikan jawaban, tanpa alternatif negosiasi lagi, sehingga mbak Gina tidak memperpanjang percakapan di petang itu.

Setelah saya keluar dari ruang mbak Gina, saya lihat mbak Gina memanggil Mas Aan. Kalau mbak Gina adalah manager saya, maka mas Aan ini adalah supervisor saya. Entah apa yang diperbincangkan. Tapi dari balik kaca terlihat mereka membicarakan hal yang serius.

Setelah itu, mas Aan keluar dan menghampiri saya. Saya tebak ini berkaitan dengan pengunduran diri saya.

“Ayo Suf, makan di luar,” ajaknya. Sebuah ajakan aneh. Karena selama ini dia tidak pernah mengajak makan bareng hanya berdua saja. Biasanya kalau makan bareng, ramai-ramai dengan teman-teman lainnya. Apalagi dia mengajak ke warung nasi bebek dekat kantor, yang dia tahu saya tidak suka ke sana sebenarnya. Saya sendiri tahu warung itu, tapi tidak pernah ke sana. Padahal teman-teman lain kebalikannya, suka ke sana. (saya sendiri tidak tahu sekarang alasan apa saya tidak suka ke sana).

Karenanya saya semakin kuat menduga, ini terkait dengan pembicaraan saya dengan mbak Gina sebelumnya. Saat di warung itu, sambil makan saya menunggu-nunggu dia membuka percakapan tentang itu. Nyatanya tidak. Sampai selesai makan, dia juga tidak menyinggung masalah yang bagi sebagian orang kantor sangat krusial itu.

Selama makan, hampir tidak ada percakapan. Diam. Akhirnya kita kembali ke kantor. Dan sama sekali tidak menyinggung tentang pengunduran diri saya. Hehehe

Bagi saya, makan berdua dengan mas Aan di ujung karir saya di SCTV itu sangat berkesan terkait dengan profil mas Aan. Saya penasaran apa sebenarnya alasannya mengajak saya makan waktu itu. Sebuah momen ganjil yang tidak pernah terjadi sebelumnya dan juga sesudahnya.

Setelah berlalu, sekarang saya berpikir bahwa bukan saya yang menunggu pembukaan pembicaraan oleh mas Aan. Tapi mungkin justru mas Aan yang menunggu saya membuka percakapan tentang hal itu. Hehehe.

Jelas saya tidak akan membuka perbincangan itu. Karena masalah itu sudah jelas. Sudah finish. Saya mengundurkan diri. Saya ingin tetap di Surabaya!

Saya tidak tahu apakah keputusan saya mengundurkan diri dari SCTV itu betul atau tidak.

Meski keputusan itu bagi sebagian besar orang adalah aneh. Karena saat itu banyak perusahaan bangkrut. Bahkan perusahaan skala konglomerat sekalipun. Akibatnya banyak orang mencari pekerjaan. Saya yang sudah enak-enak di perusahaan besar malah ingin keluar.

Padahal saya tidak ada rencana mau pindah ke mana. Tidak ada perusahaan yang menampung saya setelah saya keluar dari SCTV. Saya pengangguran dan pencari kerja. Cuma waktu itu, saya yakin dan mantap bisa mencari pekerjaan lagi.

Kenangan itu muncul kini saat saya mengenang sosok mas Aan. Sebuah nama panggilan, yang lama akhirnya saya tahu kalau nama aslinya adalah Abi Yazid. Hehehe.

Bagi saya, mas Aan adalah sosok kreatif yang tidak begitu banyak bicara. Begitu rendah hati tanpa suka pamer. Sekali bicara, pasti kena. Efisien. Namun humor-humornya sangat luar biasa. Sangat mencairkan suasana yang kaku dan membuatnya dia bisa diterima di semua kalangan.

Dia sosok yang hampir dikenal semua orang di perusahaan yang jumlahnya lebih dari 1000 itu. Diam-diam saya banyak belajar bagaimana membentuk karakter seperti ini, agar bisa juga diterima di semua kalangan. Sesuatu yang susah ditiru sebenarnya.

Bagi saya, Mas Aan juga guru dan mentor yang baik. Saya yang meski lulusan Komunikasi, ternyata menyadari kurangnya bekal untuk kerja di dunia TV. Untung mas Aan dengan sabar membimbing saya. Mungkin karena menganggap saya sebagai adik kelas yang harus dibimbing, tidak hanya yunior di tempat kerja. Dia meski bukan anak Komunikasi, dia anak Anthropologi di FISIP Unair. Sama dengan saya yang FISIP Unair juga.

Kalau dia bingung bagaimana mengarahkan saya dengan benar tapi tidak ingin membuat saya tersinggung, down atau mengecilkan saya, dia cukup menyuruh saya memperhatikan dia bekerja. Kadang ini bikin saya malu, karena dia mau mengerjakan pekerjaan itu. Bahkan kerap kali dia menyetujui pekerjaan saya, meski saya tahu dia kurang puas dengan pekerjaan saya.

“Bungkus!” begitu teriaknya kalau menganggap pekerjaan saya sudah selesai. Kalau nada teriakan ‘bungkus’nya itu bagaimana, saya tahu saya harus belajar dan bekerja lebih keras lagi supaya hasil pekerjaan lebih baik.

Karena itu, mas Aan serasa ‘oase’ menyejukkan bagi saya saat kepanasan tidak tahu harus berbuat bagaimana. Seorang ‘fresh graduate’ yang langsung bekerja di perusahaan besar dengan pegawai yang sangat banyak. Sebuah perusahaan yang penuh dengan SDM yang terampil dan berpendidikan tinggi. Bahkan di departemen saya yang menuntut kreativitas tinggi.

Mas Aan inilah yang memperlihatkan, menuntun dan membimbing saya masuk untuk pertama kali di dunia kreativitas. Dunia iklan. Dunia TV. Sebuah shock melihat gemerlapnya dan gemebyarnya dunia TV. Karena usahanya membuat saya tenang dan merasa nyaman bekerja di sana.

Kini kalau saya merenungi hal itu, saya berandai kalau tidak ada krisis moneter itu, saya pasti tetap di SCTV. Bagi saya, bila nadi saya disayat warna darah saya tetap 3 warna: merah, biru dan orange. Warna kebangsaan SCTV. Hehehe.

Tapi kalau saat ini saya ditawari kembali bekerja di dunia TV, saya tidak tahu bagaimana menjawabnya… Hehehe. [SUMA, 16/9/2013]

~~~
Tulisan ini saya dedikasikan untuk mas Aan, Abi Yazid. Sebuah berita yang cukup mengejutkan bagi saya, bahwa dia akhirnya ‘resign’ dari SCTV. Dunia yang mempertemukan saya dengan dirinya. Dan saya yakin dunia yang sangat dia sukai, sehingga mengagetkan kalau dia juga harus keluar dari dunianya itu.

Tulisan ini adalah serial yang menggali ingatan saya saat bekerja di departemen Promo di SCTV. Dunia profesional pertama saya. Sebuah institusi yang banyak kenangan manis di sana, termasuk tempat bertemunya dengan istri saya.

~~~
*Mochamad Yusuf adalah online analyst, konsultan tentang ‘online communication’, pembicara publik tentang IT, host radio, pengajar sekaligus praktisi IT. Aktif menulis dan beberapa bukunya telah terbit. Yang terbaru, “Jurus Sakti Memberangus Virus Pada Komputer, Handphone & PDA”. Anda dapat mengikuti aktivitasnya di personal websitenya, http://yusuf.web.id atau di Facebooknya, http://facebook.com/mcd.yusuf.

13 Comments - Leave a Comment
  • Mochamad Yusuf -

    Saat mencari foto untuk tulisan ini, saya malah baru tahu nama lengkap mas Aan ada Ansorul Waton-nya. Hehehe. Abi Yazid saja baru tahu agak lama setelah kenal dengannya. Jadi lengkapnya Abi Yazid Ansorul Waton.

  • Leave a Reply